Kasus Covid-19 kian menanjak tiap harinya. Berawal dari puluhan kasus yang hadir, melonjak ke ratusan, hingga puluhan ribu kasus per hari. Jumlah kasus yang meningkat mengakibatkan berbagai hal terkait Covid-19 pun ikut meninggi. Salah satunya di antaranya obat terapi covid.
Obat Terapi Covid
Isu obat terapi covid berawal dari belum tersedianya pengobatan Covid-19 secara spesifik sehingga dipergunakannya obat-obat lain. Meskipun demikian, perlu diketahui penggunaan obat-obat lainpun hanya ditujukan untuk mengobati gejala Covid-19 tetapi tidak dapat melawan virus itu sendiri.
Akibatnya, penggunaan obat lain, seperti antivirus, antibakteri, maupun antibakteri marak digunakan. Akan tetapi, penggunaan obat-obatan tersebut memerlukan pemantauan dan persetujuan dari tenaga kesehatan dikarenakan adanya efek samping yang perlu dipertimbangkan. Dengan demikian, obatan-obatan tadi tidak dapat dipergunakan secara bebas.
Bahkan, WHO maupun badan pengawas obat dan makanan di seluruh dunia belum dapat menyatakan jika obat-obatan di atas digunakan sebagai obat covid. Berikut obat-obatan yang dimaksud.
A. Remdesivir
Remdesivir adalah obat antivirus yang dikembangkan untuk melawan wabah ebola. Tetapi, sejak tahun 2020 remdesivir kerap digunakan oleh tenaga kesehatan untuk pasien Covid-19 bergejala berat.
Mei 2020, FDA (Food and Drugs Administration) Amerika menyatakan bahwa remdesivir dapat digunakan untuk pasien Covid-19. Hal tersebut berdasarkan, hasil uji klinis yang dilakukan oleh National Institutes of Health Amerika yang mana remdesivir dapat mempersingkat waktu pemulihan pada beberapa pasien.
Tak hanya itu, November 2020 hasil uji klinis yang diterbitkan oleh The New England Journal of Medicine menyatakan hal serupa. Selanjutnya, dalam jurnal tersebut juga dinyatakan pasien Covid-19 yang diberikan remdesivir memiliki infeksi saluran pernafasan lebih rendah.
Penggunaan remdesivir hanya dapat digunakan oleh pasien Covid-19 dengan bergejala berat berusia 12 tahun ke atas serta memiliki berat badan minimum 40kg. Bergejala berat yang dimaksud ialah keadaan pasien dengan kadar oksigen dalam darah sangat rendah atau membutuhkan bantuan pernafasan lebih intensif, seperti ventilator mekanik.
Di samping itu, penggunaan remdesivir perlu dalam pemantauan tenaga kesehatan. Sebab, remdesivir tergolong dalam obat keras yang dapat menyebabkan efek samping di antaranya peningkatan kadar enzim hati dan reaksi terkait infus.
B. Favipiravir
Favipiravir merupakan hasil pengembangan Toyama Chemicals Jepang. Obat ini, pertama kali mendapatkan izin edar di Jepang untuk terapi influenza.
Obat ini dikenal dengan merek dagang Avigan dan hanya dipergunakan pada kasus yang tidak merespon pengobatan konvensional. Seiring meningkatnya kasus Covid-19, obat ini digunakan untuk terapi Covid-19 pula. Hal tersebut berdasarkan uji klinis kecil yang dilakukan di Cina.
Sayangnya, dalam penelitian lain dinyatakan kemanjuran serta keamanan penggunaan favipiravir sebagai terapi Covid-19 masih sangat terbatas. Dikarenakan, studi klinis tersebut ditarik kembali sementara akibat data kemanjuran dan keamanannya tidak dapat ditinjau.
Oleh sebab itu, penggunaan favipiravir sebagai obat terapi covid masih perlu dikaji dan tidak dapat digunakan secara bebas. Efek samping yang disebabkan dari penggunaan favipiravir, yakni muntah, berat badan menurun serta penuruan kemampuan pergerakkan tubuh. Berdasarkan hal tersebut, penggunaan favipiravir (aavigan) perlu pemantauan dan izin dari tenaga medis.
C. Oseltamivir
Oseltamivir atau dikenal dengan Tamiflu, Fluvir, yaitu obat terapi influenza A dan B yang mentargetkan neuraminidase kemudian didistribusikan pada permukaan influenza virus untuk menghambat penyebaran virus influenza di tubuh manusia. Dalam hal tersebut, oseltamivir merupakan inhibitor neuraminidase yang digunakan untuk infeksi virus influenza.
Saat ini, oseltamivir sedang marak digunakan untuk terapi Covid-19. Sayangnya, penggunaan oseltamivir sebagai obat terapi Covid-19 masih dalam evaluasi uji klinis terkait efektivitasnya,
Sebab, oseltamivir tidak memiliki catatan aktivitas in vitro terhadap SARS-CoV-2 atau virus corona baru tidak memiliki neuraminidase sehingga oseltamivir tidak memiliki peran dalam pengobatan Covid-19. Meskipun demikian, penggunaan oseltamivir mungkin dapat diterima jika adanya kecurigaan kuat bahwa koinfeksi virus influenza dan Covid-19 terjadi, karenanya dibutuhkan pemantauan doker dalam penggunaannya.
Efek samping yang disebabkan oseltamivir sendiri, yaitu sakit perut, sakit kepala, diare, mual dan muntah, dan sulit tidur. Karenanya, penggunaan obat ini memerlukan izin dari tenaga kesehatan.
D. Azithromycin
Azithromycin merupakan antibiotik yang digunakan untuk melawan berbagai jenis infeksi, misalnya infeksi saluran pernafasan, kulit, dan penyakit menular seksual. Selain itu, antibiotic ini terbukti aktif secara in vitro terhadap virus Zika dan ebola, lalu dapat digunakan pula untuk mencegah infeksi saluran pernafasan parah saat dirawat pada pasien terinfeksi virus.
Penggunaaan azithromycin bersama dengan hidroksiklorokuin pada pasien Covid-19 masih dalam tahap uji klinis. Perusahaan farmasi asal Amerika, Pfizer belum lama ini mengumumkan data positif dari kombinasi penggunaan azithromycin dengan hidroksiklorokuin yang dilakukan di Prancis.
Uji klinis ini, menghasilkan pasien yang diberikan kombinasi di atas memiliki tingkat kesembuhan virologi tertinggi setelah pengobatan 6 hari. Walaupun demikian, hasil tersebut tidak cukup untuk dievaluasi akan manfaat klinis azithromnycin pada pasien Covid-19. Terlebih, diperlukannya pertimbangan adiktif toksisitas jantung terhadap dua kombinasi di atas.
Hal ini dikarenakan, kedua obat tersebut dapat memperpanjang interval QT dan berpotensi risiko kejadian jantung pada pemilik komorbid jantung. Untuk itu, penggunaan azithromycin sebagai obat terapi Covid-19 perlu pemantauan dokter lebih lanjut.
E. Intravenous Immunoglobulin
Intraveneous immunoglobulin (IVIG) merupakan produk darah yang mengalami pemurnian dari plasma campuran orang sehat. Pada IVIG komponen utamanya ialah protein yang kaya antibodi bakteri dan IgG virus.
Dalam hal ini, IVIG dapat meningkatkan pertahanan tubuh, memblokir reseptor sel target dan mencegah kerusakan sel target lebih lanjut yang diakibatkan patogen. Penggunaan IVIG pada pasien Covid-19 dapat memodulasi inflamasi, yang dapat mengikat sitokin dengan adanya antibodi autoreaktif.
Penatalaksanaan Covid-19 dengan IVIG hanya dapat diberikan untuk pasien bergejala berat. Efek immunomodulatornya berperan dalam menekan hiperaktifnya respon imun pada pasien sehingga dapat meningkatkan kadar IgG dalam serum secara efektif dapat menetralkan patogen di saluran pernafasan pasien.
Efek samping dari penggunaan IVIG di antaranya, pusing, demam disertai mengigil, mual atau muntah, tekanan darah rendah, nyeri otot, jantung bertedak lebih cepat (takikardia), kulit memerah, dan eksim. Sebab itu, penggunaan IVIG hanya dapat dilakukan berdasarkan izin dan pemantauan tenaga medis.
F. Tocilizumab
Tocilizumab atau dikenal dengan Actemra adalah obat yang dikembangkan oleh Roche dan Chugai Pharmaceutical. Obat ini, digunakan untuk mengobati RA dan pasien arthritis idiopatik remaja sistematik.
April 2020, tocilizumab digunakan untuk terapi covid-19 pada 21 pasien bergejala berat, yang mana 20 di antaranya pulih di waktu publikasi sedangkan 1 lainnya dalam perjalanan menuju pemulihan di ruang ICU. Berdasarkan hasil uji klinis di beberapa negara, peran TCZ sebagai terapeutik Covid-19 sangat membantu pada pasien dengan keadaan oksigen memburuk atau baru mendapatkan perawatan intensif.
Oleh karena itu, penggunaaan TCZ atau Actemra hanya dapat digunakan oleh pasien Covid-19 bergejala Berat. Bersamaan itu, diperlukan izin dan pemantau tenaga medis dalam penggunaannya.
G. Ivermectin
Ivermectin adalah obat anti parasit yang telah digunakan di seluruh dunia untuk melawan rosacea. Belum lama ini, ivermectin ramai digunakan sebagai obat terapi Covid-19.
Penggunaan ivermectin untuk mengobati atau mencegah Covid-19 pada manusia masih belum mendapatkan persetujuan FDA. Sebab, belum adanya hasil uji klinis penggunaan obat ini sebagai terapi Covid-19 pada manusia, namun beberapa penelitian awal sedang berlangsung.
Perlu diketahui pula, ivermectin bukanlah anti virus sehingga menggunakannya dalam dosis besar sangat berbahaya dan dapat menyebabkan kerusakan serius. Untuk itu, jika adanya disinformasi mengenai penggunaan ivermectin dalam dosis besar, adalah salah.
Bahkan, tingkat penggunaan ivermectin yang disetujui pun dapat berinteraksi dengan obat lain, contohnya pengencer darah. Overdosis pemakaian ivermectin menyebabkan mual, muntah, diare, tekanan darah rendah, reaksi alergi, pusing, masalah dengan keseimbangan (ataksia), kejang, koma, dan kematian. Karenanya, penggunaan ivermectin memerlukan izin tenaga kesehatan dan tidak dapat dipergunakan secara bebas.
H. Dexamethasone
Dexamethasone termasuk dalam golongan kortikosteroid yang digunakan untuk mengobati peradangan atau inflamasi pada penyakit tertentu. Obat ini sendiri, merupakan bukan antivirus.
Penggunaan dexamethasone sebagai obat terapi Covid-19 tengah dalam uji klinis. Hasil penggunaan dexamethasone dengan dosis 6mg perhari saat uji klinis RECOVERY ialah dapat mengurangi jumlah kematian Covid1-9 sebanyak 8 – 35% pada pasien ICU.
Covid-19 dapat menyebabkan perkembangan penumonia pada beberapa pasien. Dalam hal ini, akumulasi carian pnemumonia diakibatkan dari peradangan yang disebabkan oleh sekresi kemokin inflamasi dari sel imun.
Karenanya, keadaan di atas menyebabkan respiratory distress syndrome (ARDS) yang mana kontributor utama untuk kematian pasien positif Covid-19. Penggunaan dexamethasone berpotensi untuk mengurangi peradangan di paru-paru sehingga meningkatkan prognosis pasien dengan menurunkan tingkat keparahan ARDS.
Uji Recovery yang dilaksanakan di Inggris mengumkan bahwa dexamethasone terbukti menyebabkan peningkatan yang signifikan pada pasien Covid-19 dengan gejala berat (menjalani dukungan pernafasan). Oleh karena itu, penggunaannya membutuhkan izin tenaga kesehatan sehingga tidak dapat digunakan secara bebas.
Bolehkah menggunakannya?
Meskipun penggunaan obat terapi Covid-19 viral di atas telah mendapati izin dari BPOM. Tetapi, perlu diingat bahwa izin yang diberikan adalah EUA (Emergency Use Authorization) yang berarti hanya boleh dipergunakan untuk keadaan darurat.
Untuk itu, penggunaan kedelapan obat terapi covid viral di atas sangat memerlukan izin dan pemantauan tenaga kesehatan. Tak hanya itu, obat-obatan di atas hanya dapat digunakan oleh pasien Covid-19 dengan gejala tertentu.
References
nejm.org
Baca Juga: