Kasus malaria di Indonesia hingga saat ini masih selalu dieluhkan. Pasalnya, malaria merupakan salah satu wabah dengan kematian tertinggi di dunia.
Seluk beluk malaria
Malaria disebabkan oleh parasit plasmodium yang dibawa oleh nyamuk Anopheles betina. Proses transmisi malaria bergantung pada kondisi cuaca, namun kerap terjadi saat dan sesudah musim hujan. Sebab itu, daerah tropis dan subtropis menjadi daerah paling banyak kasus malaria ditemukan.
Penyebaran malaria pada manusia, melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi parasit plasmodium. Salah satu, jenis plasmodium yang banyak ditemukan serta menjurus pada malaria berat dan mengakibatkan kematian ialah Plasmodium faciparum.
Setelah manusia terkena gigitan nyamuk tersebut, maka parasit tadi akan berkembang biak di liver kemudian menginfeksi sel darah merah. Oleh karena itu, penularan malaria dapat terjadi melalui transfusi darah, dan transplantasi organ.
Di Indonesia sendiri, kasus malaria telah terjadi sejak era 1900an dengan jumlah penderita hingga 30 juta orang dan mengakibatkan 120.000 korban jiwa.
World Malaria Report tahun 2020 milik WHO menyatakan Indonesia sebagai negara yang memiliki kasus malaria tertinggi kedua di Asia Tenggara. Bahkan, dalam laporan tersebut jumlah kasus malaria di Indonesia stagnan dari tahun 2014 – 2019.
Kota atau kabupaten di Indonesia dengan endemis tinggi malaria, yaitu provinsi Papua, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Kalimantan Timur, dan kabupaten Paser Utara. Penyebab utama malaria terkonsentrasi di wilayah timur Indonesia, yakni cuaca.
Pasalnya, keadaan cuaca di wilayah Indonesia Timur sangat sulit diprediksi, seperti musim hujan di wilayah tersebut dapat berlangsung beberapa bulan. Lalu, terkadang panas menyengat dapat menyelimuti. Keadaan tersbeutlah, menyebabkan kondisi fisik tubuh masyarakat menjadi lebih rentan.
Di samping itu, gejala malaria yang kerap mirip dengan penyakit ringan lainnya membuat proses identifikasi malaria memakan waktu lebih lama. Umumnya, gejala infeksi malaria menyerupai flu, demam, dan sakit kepala.
Pengidentifikasian semakin sulit sebab di daerah tersebut belum memiliki teknologi mutakhir untuk mendeteksi infeksi malaria secara cepat. Untuk itu, diperlukannya tenaga dan penanganan medis segera.
Identifikasi kasus malaria dengan Digital PCR
Teknologi mutakhir untuk identifikasi kasus malaria kian berkembang. Hal ini ditunjukkan, dengan hadirnya pelbagai alat deteksi malaria dari seluruh dunia.
Biasanya, alat deteksi ini mengggunakan sampel darah manusia untuk pendeteksian. Sayangnya, alat deteksi tersebut sangat kurang ekonomis dan sulit dioperasikan.
Oleh sebab itu, QIAGEN meluncurkan QIAcuity Digital PCR System yang dapat digunakan untuk deteksi malari secara cepat dan efesien. Seorang ahli terkemuka di Mahidol University, Dr. Wang menyatakan bahwa penggunaan digital PCR sangat membantunya dalam pendeteksian malaria.
Sebelumnya, Dr. Wang menggunakan qPCR untuk pedeteksian kasus malaria namun qPCR tidak dapat mengidentifikasi sampel sulit ataupun tidak diketahui. Karena itu, beliau memutuskan beralih menggunakan digital PCR untuk deteksi kasus malaria.
Alasan utama Dr.Wang untuk menggunakan digital PCR, ialah adanya teknologi deteksi yang lebih sensitif sehingga dapat menganalasis lebih banyak tipe sampel, termasuk sampel sulit maupun yang tidak diketahui. Tidak hanya itu, teknologi yang dimiliki QIAcuity sangat mudah dioperasikan serta fleksibel untuk digunakan dalam berbagai kesempatan analisis.